HIJRAH BUKAN TENTANG “INI” SAJA

Hijrah.

Siapa yang tidak pernah mendengar kata ini? Hampir semua dari kita bisa jadi pernah mendengarkannya, atau bisa jadi sering membicarakannya.

Lalu, apa itu hijrah?

Dalam Islam, sejarah hijrah dimulai dengan berpindahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat dari Kota Mekah ke Kota Madinah. Peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun ke-13 pada masa kenabian. Hal yang menjadi latar belakang perpindahan itu dikarenakan kota Mekah yang tidak lagi menjadi tempat aman bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melakukan dakwahnya. Tekanan demi tekanan terus saja dilayangkan kaum kafir Quraisy kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang yang mengikutinya.

Peristiwa pengejaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam oleh kaum Quraisy, telah Allah ceritakan dalam Al Quran:

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal : 30)

“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Qs. At Taubah : 40)

Peristiwa berpindahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat inilah yang kemudian dijadikan Umar bin Khatab sebagai awal penanggalan dalam kalender Islam atau Hijriah.

Merujuk dari kisah tersebut, hijrah bisa diartikan sebagai proses berpindah atau keluar dari suatu keadaan yang buruk kepada keadaan yang lebih baik atau berpindah dari kekufuran atau kekafiran kepada keimanan dan ketaqwaan.

Perintah berhijrah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharpakn rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Baqarah 2:218). 

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujahirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni;mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8:74)

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20)

Adapun dalam prinsipnya, hijrah haruslah memenuhi kriteria, antara lain ada yang ditinggalkan dan ada yang dituju. Maksud dari yang ditinggalkan di sini adalah sesuatu yang buruk, jelek, penuh mudhorat, haram, dan keburukan. Bisa juga kita artikan meninggalkan kemaksiatan dan kejahiliahan. Sedangkan yang dituju antara lain kebaikan, manfaat, keimanan, ibadah, kehalalan dan segala hal baik lainnya dalam agama. 

Lantas, bagaimana dengan fenomena hijrah yang sering kita dengar dalam beberapa tahun belakangan? Hijrah yang sering diidentikkan dengan perubahan secara tampilan, misalnya bagi muslimah yang semula belum berjilbab lalu telah menutup auratnya dengan menggunakan jilbab. Apakah hal demikian sudah bisa dikatakan berhijrah?

Ya, bisa saja dikatakan bahwa yang demikian itu sudah dapat dikatakan berhijrah. Tapi hijrah bukan hanya tentang tampilan fisik, tapi ada bagian lain yang mestinya juga berhijrah.

Secara garis besar hijrah kita bedakan menjadi dua macam yaitu:     

  1. Hijrah makaniyah yaitu meninggalkan satu tempat menuju tempat lain yang lebih baik. Beberapa contoh hijrah makaniyah antara lain hijrahnya Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah
  2. Hijrah Maknawiyah

Secara  maknawiyah hijrah dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:

  1.  Hijrah I’tiqadiyah atau hijrah keyakinan. 

Kita ketahui bahwa keimanan itu bersifat fluktuatif. Ia meninggi seiring dengan ketaatan-ketaatan yang kita lakukan. Namun, ia juga bisa menurun kala kita senantiasa melakukan keburukan dan kemaksiatan. Maka, sudah selayaknya kita senantiasa berhijrah secara keimanan untuk menjaga agar kita tetap berada dalam keislaman. Karena apabila kita terlena dengan fatamorgana dunia, menikmati setiap kelenaan dengan tidak berusaha mencari hidayah-Nya, keimanan yang telah ada bisa jadi tergerus dan hilang tak bersisa. Na’udzubillahimindzalik

  1. Hijrah Fikriyah

Kita ketahui bahwa Islam telah diperangi, dahulunya secara fisik, kini kita mengenal yang namanya Ghowzul Fikr atau perang pemikiran. Nilai-nilai Islam digerus dengan pemikiran-pemikiran seperti sekulerisme, feminisme, liberalisme dan lain-lain. Pemikiran-pemikiran tersebut menjadi virus yang siap menggerogoti keimanan para muslim yang lengah secara fikriah. Karena itu, penting bagi kita berhijrah secara pemikiran, dari pemikiran-pemikiran non-Islam tersebut kepada pemikiran Islam yang menjaga kita dari ketersesatan.

  1. Hijrah Syu’uriyyah

Syu’uriyah atau kesenangan, adalah bentuk hijrah yang juga harus kita perhatikan. Semula kita menyukai bentuk-bentuk pakaian yang tidak mencitrakan Islam, atau kesenangan, hobi, kegemaran yang identik dengan kebiasaan kaum-kaum tertentu, maka hal ini juga harus kita tinggalkan.

  1. Hijrah Sulukiyyah  

Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau bisa juga disebut akhlak. Dalam perjalanannya, begitu banyak degradasi akhlak yang sudah tersebar dikalangan masyarakat kita. Semisal pacaran sebelum pernikahan yang seolah menjadi hal yang biasa. Padahal dalam Islam, hal ini jelas tidak dibenarkan. 

 

Melalui penjabaran di atas, dapat kita simpulkan, bahwa apabila ada seorang muslimah yang semula tidak menutup auratnya, kemudian kini telah menutup aurat secara sempurna, ia telah dikatakan berhijrah secara Syu’uriyyah. Namun, tentu hijrah yang kaffah bukan hanya tentang merubah tampilan fisik menjadi lebih Islami, jauh dari pada itu, secara pemikiran, keimanan, dan juga akhlak, hendaklah muslimah tersebut juga melakukan proses hijrah.

Dengan demikian, setelah hijrah penampilan, ia tidak disibukkan dengan mengkoleksi berbagai jenis hijab dengan ragam model, warna, dan rupa, tapi justru ia akan disibukkan dengan memperbaiki pemahamannya terhadap Islam, memperbagus akhlak, memperbaiki ibadah dan juga bergerak dalam kontribusi-kontribusi dakwah. 

Kemudian, hal yang tak kalah penting dari rangkaian perjalanan hijrah tersebut adalah senantiasa berusaha agar dapat istiqomah dalam menegakkan nilai-nilai Islam pada dirinya. 

Ada pun hal yang harus diperhatikan dalam proses berhijrah antara lain, senantiasa meluruskan niat, berhijrah hanya karena Allah Subhanahuwata’ala dan hanya untuk mendapatkan keridhoan Allah Subhanahuwata’ala. Hal ini penting kita tekankan, karena dalam perjalanannya, bisa jadi kita akan mendapatkan penolakan, cemoohan, penentangan dari orang-orang disekitar kita. Jika hal ini kita alami, kita tidak lantas mudah mundur kembali kepada saat sebelum kita hijrah.

Selain itu, dalam perjalannya, pasti akan ada hal yang akan kita korbankan. Entah itu waktu, tenaga, bahkan harta. Oleh karena itu, dalam perjalannya kita membutuhkan teman untuk bisa saling menguatkan. 

Jadi, hijrah bukan hanya tentang berubah secara fisik, tapi ilmu dan amal kita juga harus senantiasa dihijrahkan menuju nilai-nilai islam yang kaffah. (MY)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *